Bioretensi : Mencegah Banjir Sekaligus Menyimpan Air Hujan
Oleh : NANA M. ARIFJAYA
Sumber: http://bioretensi.com/
Bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya telah memasuki kondisi yang sangat parah, banyak akitivitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang terganggu, bahkan telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung. Selain kejadian banjir-banjir besar tersebut, pada saat ini hampir tiap tahun wilayah Jakarta mengalami banjir terutama di wilayah dengan elevasi dekat sungai.Banjir merupakan simptom telah terlampuainya daya dukung lingkungan akibat perubahan lingkungan dan bertambahnya daerah terbangun, akibat kebijakan ekonomi yang terkonsentarsi di Jabodetabek dalam beberapa dekade belakangan ini.
Faktor yang mempengaruhi kajadian banjir adalah faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam terutama disebabkan karena curah hujan yang tinggi, kondisi geomorfologi DAS, dan pasang surut air laut. Unsur iklim dan curah hujan adalah faktor utama dalam proses daur hidrologi di suatu DAS. Kejadian banjir dan kekeringan, merupakan salah satu kondisi yang disebabkan oleh perubahan keseimbangan antara intensitas hujan di suatu kawasan dengan sifat hidrologi permukaan dan lahan. Berdasarkan data curah hujan harian wilayah Jakarta tahun selama kurun lebih dari 143 th lebih yaitu dari 1866-2009, tidak terdapat suatu perubahan pola dan besaran intensitas yang signifikan. Oleh karena itu, bencana banjir di wilayah Jabodetabek adalah kejadian yang disebabkan oleh jumlah respan yang kurang. Faktor laian yang berperan adalah penyempitan sungai dan berkurangnya kapasitas kanal, dan sungai dalam mengalirkan air akibat sampah dan sedimentasi dimana faktor manusia lebih dominan.
Dilain pihak pada musim kering wilayah DKI Jakarta mengalami kelangkaan air, terjadi anacaman intrusi air laut akibat penggunaan air tanah serta mahalnya harga air akibat privatisasi sumberdaya air. Sehubungan dengan hal itu, harus diambil langkah – langkah untuk mengatasi masalah guna mengendalikan banjir dan sekaligus meningkatkan kapasitas alamiah DAS dengan berbagai upaya jangka pendek dan upaya yang mampu menjamin keberhasilan jangka panjang. Keberhasilan untuk meningkatkan kapasitas alamiah DAS akan tercapai jika pengelolaan DAS dilakukan melalui perencanaan secara terpadu, rinci, terarah dan dapat menyelesiakan akar permasalahan yang ada.
Kegiatan-kegiatan untuk meningkat kapasitas alamiah DAS yang berpengaruh terhadap kejadian banjir di Jakarta dapat berupa kegiatan vegetatif, kegiatan sipil teknis berbasis lahan, kegiatan sipil teknis berbasis alur dan fasilitasi dan pemberdayaan kelembagaan lokal/masyarakat. Basis kegiatan-kegiatan tersebut adalah hasil kajian tim IPB dan Balai pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, Dephut, th 2007 yang menyatakan bahwa kapasitas resapan alamiah DAS masih sanggup mengendalikan aliran permukaan. Selain itu, teknologi resapan dengan berbasis lahan lebih rendah biaya dan resikonya dari pada bendungan dan kanal serta mempunyai multiflier effect dengan keterlibatan masyarakat, dan sekaligus meningkatkan peran serta masyarakat.
BioretensiSalah satu upaya untuk penanganan masalah limpasan dan banjir adalah teknlogi Bio-terensi. Bioretensi adalah tehnologi aplikatif dengan mengambungkan unsur tanaman, (green water) dan air (blue water) di dalam suatu bentang lahan dengan semaksimal mungkin merespkan air ke dalam tanah supaya supaya selama mungkin berada di dalam DAS untuk mengisi aquifer bebas, sehingga air dapat dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat. Pembuatan bioretensi dapat dilakukan di halaman rumah, selokan, trotoar, taman, lahan parkir dan di gang-gang sempit yang padat penduduk
Jumlah ideal sumur resapan Bioretensi yang diperlukan untuk seluruh DAS di wilayah Jabodetabek hasil perhitungan kerjasama antara BPDAS Citarum Ciliwung dengan IPB pada tahun 2007 adalah 261,622 unit dengan kemampuan meresapkan air hujan 437.2 m3/det. Sebarannya secara administratif terdidiri dari 48.610 unit di Kab Bogor, 123.706 unit di DKI Jakarta, 6.642 unit di Kota Bogor, 28.785 unit di Kota Depok, 8.684 unit di Tanggerang, 17.224 unit di Kab. Tanggerang, 24.489 unit di Kota Bekasi dan 3.682 unit di Kabupaten Bekasi. Jika semuanya direalisasikan memerlukan biaya sebesar Rp 1 trilyun sedangkan dengan kapasitas yang sama pembangunan banjir kanal Timur (BKT) memerlukan biaya sekitar Rp 13 triyun, karena faktor pembebasan lahan yang mahal. Saat ini jumlah sumur resapan yang berbasisi teknik bioretensi sudah dibangun di sekitar Jabodetabek baru sekitar 800 pada th 2008 yang dbiayai oleh Departemen Kehutanan antara lain terletak di Jakarta Selatan 200 unit di Jakarta Pusat 200 unit di Jakarta Selatan 200 unit dan di Jakarta Timur 200 unit atau baru 0,73 % dari yang seharusnya dibangun.
Wilayah Jaboidetabek khsususnya Jakarta merupakan wilayah dengan tanah yang mampu menyimpan air tanah dengan banyak terutama pada jenis tanah latosol dengan solum tanah yang dalam dan ruang pori yang cukup untuk menyimpan air asalkan muka air tanahnya lebih dari 3 m. Wilayah Jabodetabek secara pembagian DAS terbagi menjadi DAS Cisadane, DAS Angke Pesangrahan, Krukut, Grogol, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Cakung dan Kali Bekasi, namun yang langsung mempengaruhi wilayah Jakarta 30 % berada di wilayah Jakarta dan 70 % sangat tergantung kepada wilayah di bagian hulu yang meliputi wilayah Depok, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor. Sementara wilayah Kabupaten Cianjur yang masuk kewilayah DAS Ciliwung hanya sebagain kecil yakni hnay 25 ha sehingga secara pengaruh limpasan air konstribusi Kaupaten Cianjur sangat kecil sehingga istilah Bopunjur untuk daerah tangkapan air kurang pas, kecuali
Kelebihan dari teknologi pengendalian banjir berbasis lahan, dan teknologi bioretensi adalah mengendalikan air limpasan sekaligus memanen air hujan pada saat musim hujan sehingga dengan rata-rata curah hujan 2000 mm/th di wilayah DKI Jakarta dengan luas wilayah DKI 64.346 ha yang cocok dan mampu meresapkan air dengan teknologi biotensi seluas 28.902 ha atau 44.91 % maka dalam setahun akan tersimpan 578.34 juta m3/th atau 1,58 m3/hari, air ini cukup untuk memenuhi keperluan domestik masyarakat diperkotaan sebanyak 7,9 penduduk di DKI Jakarta, sekaligus mencegah terjadinya penurunan daratan dan intrusi air laut, karena muka air tanah akan terjaga dengan baik.
Pengendalian Ciliwung HuluUntuk mengendalikan Sub DAS Ciliwung Hulu sampai bendung Katulampa dekat dengan pintu Tol Ciawi seluas 15.148,24 ha supaya mengurangi wilayah bahaya banjir disekitar Kampung Melayu, Jatinegara, sampai daerah istana presiden yang sering disebut banjir kiriman dari Bogor, dapat dikendalikan dengan pembangunan dam pengendali dengan bentangan maksumum 8 m, dam penahan dan gully plug dengan beronjong kawat dan batu kali dengan panjang bentangan 3 m yang dilakukan di wilayah hulu. Di wilayah tersebut apabila dibangun 66 dam pengendali dan 298 dam penahan yang mampu mengendalikan limpasan permukaan dengan menurunkan debit maksimum sebesar 21%, Aplikasi teknologi ini tanpa pembebasan lahan karena kontruksi dibangun di alur sungai dan badan sungai di bagian hulu, sehingga sangat efektif untuk mengurangi limpasan maksimum di Sub DAS Ciliwung Hulu karena meningkatnya waktu konsentarsi aliran dan sebagian air akan tertahan di damp penahan dan dam pengendali sehingga air tidak akan datang bersamaan ke Manggarai. Untuk merelisasikan rencana ini diperlukan biaya sekitar Rp 30 milyar
Pemberdayaan MasyarakatPemberdayaan dan peningkatan pemahaman kondisi sosial masyarakat di kawasan Jabodetabek menjadi pijakan dalam upaya memperbaiki kerusakan kawasan. Pendekatan partisipatif untuk pemetaan peran dari lembaga-lembaga di masyarakat dapat dilakukan. Pendekatan partisipatif dengan cara sosialisasi dan pemahaman bahwa di setiap rumah tangga harus terdapat kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur dan halaman juga diperlukan resapan Bioretensi sehingga masyarakat terbiasa mengkonservasi air pada level rumah tangga, diharapkan akan sangat efektif dalam pengendalian banjir yang bersifat masal dan terpooram dengan baik. Pembiayaan dengan sistem kontribusi hulu –hilir dan CSR dari berbagai perusahaan di Jabodetabek merupakan solusi alternatif dalam pengendalian banjir di Jabodetabek yang komprehensif.
CP : NANA M. ARIFJAYABagian Hidrologi Hutan dan DAS
Fakultas Kehutanan IPB –Bogor
Tlp 0251-8620346 HP 0811117549
Email : nmulyana@ipb.ac.id
Teknologi Bioretensi Atasi Banjir Jakarta
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/ 9/03/2009Bogor, CyberNews. Setelah lubang biopori, satu lagi teknologi temuan salah satu peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk mengatasi masalah limpasan dan banjir Jakarta. Teknologi ini disebut bioretensi. Prinsip dasar bioretensi menahan air di lahan untuk mengisi aquifer bebas, sehingga air dapat dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat. Sistem bioretensi ini menggabungkan antara sumur resapan dengan tanaman.
“Bioretensi merupakan teknologi aplikatif yang menggabungkan unsur tanaman, green water dan blue water dalam suatu bentang lahan dengan semaksimal mungkin meresapkan air ke dalam tanah. Air tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” papar Pakar Bidang Hidrologi dan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Fakultas Kehutanan IPB Ir Nana M Arifjaya dalam keterang pers yang dirilis Humas IPB.
Green water adalah air yang tersimpan di pohon dan lahan, sedangkan blue water adalah air yang tertampung dalam bentuk mata air, sungai dan danau. Menurut Nana, sekitar 44,91 persen atau 28.902 hektare lahan di DKI Jakarta mampu meresapkan air dengan baik. “Bisa dikatakan, wilayah ini menjadi busa raksasa yang siap menyimpan air. Masalahnya, luasan lahan tersebut sudah tertutup bangunan maupun aspal.”
Dengan rata-rata curah hujan di DKI Jakarta 2000 mili meter per tahun, pemanfaatan teknologi bioretensi pada lahan tersebut mampu menyimpan 578,34 juta meter kubik air per tahun atau 1,6 juta meter kubik per hari. Jumlah ini cukup untuk memenuhi keperluan domestik sekitar 7,9 juta masyarakat perkotaan.
“Dengan jarak 2 hingga 3 meter dari sumur bioretensi tersebut, warga bisa memasang pompa air, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan air PAM,” kata Nana. Pembuatan bioretensi dapat dilakukan di halaman rumah, selokan, trotoar, taman, lahan parkir, dan gang-gang sempit padat penduduk. Tidak perlu pembebasan lahan, dan tidak menghilangkan luasan lahan.
Proses pembuatannya terbilang sederhana. Pertama, pembuatan selokan kecil menuju sumur resapan. Kedua, penggalian sumur resapan satu meter persegi kedalaman 2,7 meter. Ketiga, pemasangan bius penahan dinding sumur resapan. Bius terbuat dari cetakan beton, berbentuk seperti jendela persegi panjang berukuran satu meter, dan memiliki empat lubang. Bius dipasang di samping kanan kiri dan atas bawah dinding sumur resapan.
Keempat, pemasangan ijuk dan batu kali di dinding bawah sumur resapan sedalam 1,7 meter. Ijuk dan batu kali ini berfungsi menyerap air dan menahan energi kinetik air yang masuk ke bawah sumur. Kelima, pemasangan penutup sumur. Penutup ini terbuat beton.
Air limpasan hujan sengaja diarahkan masuk ke sumur melalui sebuah pipa, sehingga air tidak semuanya langsung mengalir ke daerah lebih rendah. Pada tahun 2008, tim IPB telah membuat sumur bioretensi di 800 lokasi di Jakarta. Tahun ini, direncanakan akan dibuat 100 sumur lagi. Kawasan-kawasan yang memungkinkan untuk pembuatan sumur ini sebagian besar berada di wilayah Jakarta Timur, Barat dan Selatan.
Dalam perhitungan tim IPB, jumlah ideal sumur bioretensi untuk seluruh DAS di wilayah Jabodetabek adalah 261.622 unit dengan kemampuan meresapkan air hujan 437,2 meter kubik per detik. 123.706 unit diantaranya dibuat di Jakarta dan 6.642 unit di Kota Bogor.
Dana untuk membuat satu sumur bioretensi sekitar Rp 2,5 juta. Biaya mencakup penggalian, pembuangan tanah, pembuatan dan pemasangan sumur resapan. Untuk membuat lebih dari 261 ribu sumur bioretensi di Jabodetabek diperlukan dana sekitar Rp1 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembangunan banjir kanal timur yang mencapai Rp13 triliun.
Bioretensi berbeda dengan sumur resapan pada umumnya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan bioretensi antara lain kedalaman air tanah lebih dari 3 meter, tanah yang dipilih tidak jenuh air, merupakan lahan terbangun (berdiri bangunan), bukan tanah aluvial (lumpur sedimen), jarak dari septic tank lebih dari 8 meter, dipilih lokasi geologi tanah kipas aluvail yang memiliki daya serap tinggi seperti busa.
“Penyebab kegagalan pembuatan sumur resapan terjadi karena pembuatannya tidak mempertimbangkan geologi tanah, tanpa perencanaan dan pengawasan matang,” ujar Nana.
Pengendalian banjir ini makin sempurna jika dibangun juga dam pengendali dan dam penahan di beberapa titik sepanjang sungai. Dam ini berfungsi mengurangi kecepatan aliran air dari hulu ke hilir terutama saat hujan deras atau debit air tinggi. “Khusus Ciliwung dibutuhkan 298 unit dam pengendali dan 66 unit dam penahan,” tegas Nana.
(Imam M Djuki /CN05)Bioretensi Tambah Cadangan Air Tanah
Sumber: http://www.wartakota.co.id/ 20 Maret 2009Setelah menerapkan lubang resapan biopori (LRB), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali memperkenalkan teknik baru untuk menambah cadangan air tanah. Ini bioretensi.
Bioretensi merupakan teknologi aplikatif gabungan unsur tanaman, green water, dan blue water diharapkan mampu menyerap 1,6 juta meter kubik per hari. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi keperluan domestik sekitar 7,9 juta masyarakat perkotaan.
Teknologi bioretensi diaplikasikan dalam bentuk sumur resapan sedalam 2,7 meter. Cara pembuatan sumur bioretensi cukup sederhana, yaitu dengan menggali tanah seluas minimal satu meter persegi dengan kedalaman 2,7 meter. Bagian dasar sumur diisi dengan batu kali dan ijuk setinggi 1,7 meter untuk menahan pondasi. Kemudian di tiap-tiap sisi dinding sumur bagian atas dipasang buis (cetakan beton satu meter persegi dengan empat lubang).
Dalam lubang buis itulah dimasukkan batu kali dan ijuk untuk menghindari masuknya sedimen tanah ke dalam sumur. Kemudian lubang sumur ditutup dengan cetakan beton dan ditutup lagi dengan tanah. Sumur bioretensi bisa dibuat di halaman rumah, selokan, trotoar, taman, lahan parkir dan gang-gang sempit yang padat penduduk. Teknologi bioretensi ini merupakan upaya mengendalikan air limpasan sekaligus memanen air hujan pada saat musim kemarau.
Dengan rata-rata curah hujan di DKI Jakarta 2.000 milimeter per tahun, pemanfaatan teknologi bioretensi pada lahan tersebut mampu menyimpan 578,34 juta meter kubik air per tahun atau 1,6 juta meter kubik per hari. Daya tampung itu cukup untuk memenuhi keperluan domestik sekitar 7,9 juta masyarakat perkotaan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan program ini diawali dengan penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai bioretensi yang berdampak meningkatkan kualitas air tanah dan dapat mengurangi banjir. IPB memperkenalkan teknologi bioretensi sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan mengendalikan air limpasan sekaligus memanen air hujan pada saat musim kemarau.
Bioretensi merupakan teknologi aplikatif yang menggabungkan unsur tanaman, green water (air yang tersimpan di pohon) dan blue water (air mata air, sungai, dan danau) dalam suatu bentang lahan dengan semaksimal mungkin meresapkan air ke dalam tanah. “Kita lakukan upaya ini untuk mengembalikan air permukaan itu ke tanah. Saya kira juga sangat efektif dengan metode yang diterapkan ini sebagai salah satu program penanganan banjir,” kata Fauzi Bowo, di Balaikota DKI, Jumat (20/3).
Pembuatan sumur bioretensi ini sudah mulai diperkenalkan dan diaplikasikan ke kelurahan dan kecamatan. Sebab pembuatan sumur bioretensi dapat berhasil mengurangi banjir dan memperbagus kualitas air tanah, jika seluruh masyarakat turut berpartisipasi dan mendukung penerapan di lingkungannya. Oleh karena itu, Fauzi Bowo mengimbau masyarakat Jakarta untuk bersama-sama membuat sumur bioretensi.
“Kami mengajak masyarakat untuk men-support kegiatan ini. Pembuatan sumur bioretensi tidak hanya dikerjakan pemerintah saja tetapi harus melibatkan masyarakat,” ujarnya.
Menurut dosen Fakultas Kehutanan IPB, Nana M Arifjaya, sekitar 44,91 persen atau 28.902 hektar lahan di DKI Jakarta mampu meresapkan air dengan baik. “Bisa dikatakan, wilayah ini menjadi busa raksasa yang siap menyimpan air. Masalahnya, luasan lahan tersebut sudah tertutup bangunan maupun aspal,” kata Nana kemarin. (Berita Jakarta/tig)
Posted in: lingkungan
0 komentar:
Posting Komentar